Dia Bernama Dewi Anjani
“Kisahku bukan buaian
atau hanya angan semata dalam lintasan. Banyak hikmah yang ingin disampaikan
dalam uraian dan untaian pernyataan. Sampaikanlah kepada yang ingin mendengar
kebaikan. Kepada orang-orang yang membutuhkan pembanding atas apa-apa yang di
alami. Tugasmu hanya menyampaikan kisahku saja. Ikhlaskan ragamu dan juga seluruh
pemahamanmu. Aku akan membantumu untuk menguraikan dan menelusuri kisah dan juga kesadaran yang
membingkai masa lalumu dan juga orang-orang diseputarmu”
Pesan tersebut seperti berkata kepada raga terkini Banyak
Wide, yang seringkali berada pada posisi paradoks. Banyak sekali pesan yang
harus disampaikannya bertentangan dengan keadaan ekologis yang ada. Bahkan
seringkali membuat dirinya tidak enak hati. Siapakah dia? Apakah haknya
berkisah disini dalam forum majelis yang sangat mulia. Adakah dirinya adalah
orang yang diberikan kelebihan dari lainnya? Sehingga
dengan beraninya dia menuliskan pesan-pesan. Heeh…jika ada yang mengatakan
dirinya adalah penipu, pendusta, pembohong, menipu publik, dan umpatan yang
lain yang mungkin tidak terpikirkan siapapun bahkan oleh poikiran terliar
sekalipun, rasanya cukup pantas dia
mendapatkan itu. Metodologi apa yang dipakai?
Dirinya bukan orang suci, bukan pula orang yang bisa menjalani syariat dnegan benar. Bukan orang yang bisa menjaga amanah. Kelemahan sebagai manusia semua melekat padanya. “Apalagi yang harus dikatakan..?” Teriakannya bisa menggugah langit. Yah, dia lelaki biasa sangat biasa yang lahir dari wanita biasa. Seorang Ibu sebagaimana orang kota yang penuh dengan dinamika. Pendek kata dia hanya orangkebanyakan saja. Bahkan namanya nyaris tak terdengar di alam semesta ini. Mungkin hanya anak dan istrinya saja yang kenal padanya. Itupun sebatas keterikatan secara emosianal. Hakekat sesungguhnya tidak ada satupun yang mengenal siapakah dirinya. Hanya keinginan yang kuat setiap detiknya untuk menetapi jalan-jalan-Nya. Kesungguhan untuk memperbaiki perilakunya sendiri. Yah, hanya itu modalnya. Membersihkan prasangka dan rahsa iba. Membersihkan syak dan juga praduga. Semua dikembalikan kepada Allah. Itulah laku spiritualnya. Laku yang biasa saja.
Maka wajar saja jika dia sering berteriak di tengah
belantara kesadaran. Memandangi langit yang terbuka saat berjalan menuju masjid
di subuh hari. Masjid yang berjarak 200 meter dari rumahnya itu. Pohon-pohon
disana menjadi saksi atas gundah hati, manakala saban kali pesan harus
dituliskan disini. Kesedihannya sering meracuni. Bertanya untuk apa, dan
mengapa harus dirinya? Maka pesan tertulis diatas menjadi jawaban bagi kegundahannya.
…
“Benarkah ini cinta…” Wanita itu menatap sendu kepada Banyak Wide
“Ambilah..Paman…tolong..
ambillah.!.” Wajah itu semakin memelas, menatap dengan menghiba
“Ya, sebab itu
nyata..” Banyak Wide menjawab dengan menghela nafas dalam. Jiwanya larut
bersama apa yang dirasakan wanita tersebut. Kesadarannya menerawang jauh
menembus waktu disana.
“Yah..benar, sebab itu nyata..” Jawab Banyak Wide getuun
sebab tidak mampu berbuat apa-apa.
Hmmm, dirinya paham bahkan menjadi saksi cinta dan amuk rahsa yang menggila. Inilah
mengapa dia tidak mampu menjawabnya. Selesai memeberiokan jawaban. Tanpa
dikehendakinya, kesadarannya menerobos neuron otaknya. Mencari jejak yang
tersisa dan membelenggu fikirannya. Masih sangat jelas terbayang. Manakala kepakan
sayap cinta di amazon sana.Selayaknya adalah kepakan sayap kupu-kupu
kecil, namun bagaimanakah
akibatnya? Seluruh pertahanannya telah
hancur di hantam badai yang diakibatkannya.
Hancurlah seluruh kota yang di bangun di hatinya. Peradaban
yang selama ini mengisi kesadarannya telah porak poranda. Bangun rahsa tak
mampu bertahan. Bahkan bangun kesadaran ingat Tuhan yang dipertahankannya
nyaris tak bersisa. Tidak menunggu lama
hanya dalam hitungan detik saja. Tubuhnya telah meringkuk merata dnegan tanah.
Blaaam…blaammm. Lelaki perkasa yang pernah berjasa mendirikan Majapahit itu
terjungkal di hantam badai cinta. Jangan ditanyakan bagaimana sakitnya. “Duh, makhluk manakah yang mampu bertahan
dari rahsa ini? Adakah orang yang percaya jika rahsa ini nyata?”
...
Tembikar menukar
Jejak rahsa terbakar
Dalam gelepar jiwa yang terkapar
Adakah sesal menjadi jangkar
Dalam lautan biduk
dan angin mati
Sesar menampar, selejar hingga tepar
Menjalar gelegar dan hingar
Nafas menjadi belukar
raga dalam selesar
sedetik mati
satu dan satu
dalam sukar..
…
“Duhai, Anjani dewi lokananta
Nafasmu dawai angin
Dan lihatlah aku juga merindu..
Seribu purnama,
hati membeku..”
….Banyak Wide menatap sedih sosok yang
menempati tubuh raga terkini anak Mas
Thole yang bernama Dewi Anjani ini. Seorang sosok masa lalu yang reinkarnasi di
raga manusia. Wajah yang memelas,
menghiba, dan kesakitan sekali. Rahsa cinta telah menjadi racun yang menyerang
sekuruh system ketubuhannya. Maka yang trelihat adalah raga terkini yang
semakin melayu, kehilangan energi dan daya dukung kehidupan. Mengapakah hal ini
biasa terjadi? Banyak Wide bertekad membantu menacari jawaban atas ini.
Siapakah sosok Dewi Anjani ini? Benarkah dia salah satu leluhur dari keluarga
ini? Mengapakah kepada dirinya wanita ini memanggil Paman? Sebagaimana yang
lainnya. Ponakan yang reinkarnasi di tubuh anak raga terkjininya sendiri. “Ugh…hidup memang misteri”
Kesakitan
yang dialami Dewi Anjani meliputi raga terkini.
Akibatnya di alam nyata, terlihat tubuh anak Mas Thole semakin hari
semakin kurus, hanya nampak kulit pembalut tulang. Kegiatannya hanya mengurung
diri di kamar. Merisaukan sekali. Maka karena sebab itu, di sarankan agar dia
tinggal di rumah saja, tidak usah kost lagi. Sudah beberapa minggu ini di
jalani. Kuliahnya di laju dari rumah. Berangkat seminggu sekali ke Bandung.
Walau sudah berada di rumah sendiri ternyata sama saja. Dewi Anjani yang meraga
di tubuh anaknya tetap dalam kesedihannya. Menjadikan suasana rumah dalam keadaan nelangsa.
.
Bukan tanpa
sebab Dewi Anjani begitu. Dalam realitas terkininya anak Mas Thole memang di
sakiti 2 lelaki dalam waktu berdekatan ini. Ironisnya dia sendiri tidak pernah mengerti apa salahnya, ditinggalkan begitu saja tanpa alasan. Sedlain menyedihkan raga terkini. Tentu saja
hal ini juga turut menyulut kesedihan orang masa lalu yang ada pada raganya.
Rahsa sakit tersebut menguliti kembali kesadaran mereka bersama-sama.
Menjadikan rahsa sakit yang dialami menjadi semakin berlipat ribuan kali. Keadaan
inilah yang menyebabkan anaknya Mas Thole tidak mampu bertahan. Saban hari
menangis, mengeluhkan sakitnya. Sakit yang menyerang di ulu hati, begitu nyata. Maka hanya erangan,
dan duka nestapa saja yang bisa dilantunkannya. Tentu saja halini menyedihkan
bagi kedua orang tuanya.
Mengerang,
menangis, tatapannya mulai melayu, kosong tiada ruh disana. Begitulah keadaan raga terkini anak Mas
Thole. Kurus sekali. Menyebabkan
nelangsa di jiwa Mas Thole. Banyak Wide mengerti dan memahami apa yang
dirasakan Mas Thole. Mereka bagai satu mata uang. Maka apa yang dirasakan satu
sisi akan menjadi rahsa disisi sebaliknya. Ingin sekali Banyak Wide membantu
atas apa kesulitan yang dialami oleh
raga terkini. Namun apa daya, dirinyapun juga gagal memaknai rahsa yang satu
ini. Karena sebab itulah dirinyapun harus reinkarnasi.
Dewi Anjani
adalah anak dari Raden Angga Wijaya. Masih satu trah dengan leluhur Majapahit. Hidup pada jaman Empu Sendok. Suaminya seorang
raja yang bernama Ganda Prawita, dari
sebuah kerajaan kecil yang tidak memiliki catatan sejarah di nusantara ini,
yaitu kerajaanan Damar Angkasa. Dia pergi meninggalkan kerajaannya untuk menaklukan
wilayah lainnya. Namun apa mau dikatakan suaminya justru takluk kepada seorang
wanita yang Sekar Sari seorang putri
yang berasal dari kerajaan Panarukan. Sepeninggal suaminya itu, Dewi Anjani
bermuram durja sepanjang hidupnya. Cintanya merasa di khianati oleh kekasihnya.
Suaminya bertekuk lutut di bawah ketiak wanita lain. Betapa pedih apa yang dirasakan,
duka lara sebab cinta.
Belum habis
sampai disitu. Anaknya yang semata wayang, baru berumur lima tahun meninggal
karena sakit panas saat dalam perjalanan menyusul suaminya. Putrinya yang bernama
Dyah Lara Kusuma satu-satunya yang menjadi harapan hidupnya pun juga
meninggalkannya. Luar biasa sakit yang dirasakannya. Pukulan
terakhir itu mampu menumbangkan pertahanan dirinya. Cobaan yang bertubi-tubi
membuatnya limbung. Dalam gundah dirinya maka diapun mengasingkan diri bertapa
dalam sebuah hutan yang tidak diketahui namanya. Beratus-ratus tahun berlalu
tidak diiangtnya lagi. Begitu terbangun dia mendapati dirinya berada di dalam
raga seorang manusia baru. Rahsa yang dikenalinya itu telahmembangunkannya dari
tidurnya. Karuan saja dia berontak, menangis sebagaimana dahulu kala. Dia
merasakan sakit yang sama. Dia merasakan rahsa, sebagaimana dia baru bangun
dari tidur kemarin sore saja. Perasaannya tidak ada yang berubah. Hanya lay out
disekelilingnya saja yang berubah.
…
Tembikar menukar
Jejak rahsa terbakar
Dalam gelepar jiwa yang terkapar
Adakah sesal menjadi jangkar
Dalam lautan biduk
dan angin mati
Sesar menampar, selejar hingga tepar
Menjalar gelegar dan hingar
Nafas menjadi belukar
raga dalam selesar
sedetik mati
satu dan satu
dalam sukar..
Semua hanya
menunggu, bersama waktu, bersama keadaan semu, hingga jemu.
…
Salam
Komentar
Posting Komentar